"BEASISWA" => Biaya untuk Siswa? atau Biaya Pendidikan untuk Siswa?

Kamis, 26 Januari 2012

Prolog :
Sebelum masuk kedalam permasalahan, Penulis mohon maaf jika artikel ini sedikit mengkritik karena mungkin akan ada beberapa pihak yang merasa terusik dengan artikel ini. Bukan maksud Penulis ingin memprovokasi namun lebih ingin memberikan sharing informasi, hal ini untuk mewujudkan Mahasiswa sebagai agent of social control dapat menjalankan fungsi kontrol sosial yang mampu berpikir kritis terhadap keadaan disekitarnya. 

Pemikiran ini bermula ketika saya mendapat kesempatan untuk mengerjakan sebuah karya tulis dengan tema "RUU Pendidikan Tinggi", hal ini berhubungan dengan pengaturan sistem dalam Pendidikan Tinggi baik itu Perguruan Tinggi berbentuk Akademi, Institusi, Politeknik, Sekolah Tinggi, dan Universitas. Setelah mengkaji lebih jauh tentang topik ini ternyata saya mendapat sebuah pemikiran "Sepertinya ada yang salah dengan sistem pelaksanaan penerimaan beasiswa?" berhubung saya Mahasiswa maka istilah siswa secara umum saya spesifikan kepada Mahasiswa namun tetap permasalahan disini dapat mewakili siswa dipelbegai jenjang pendidikan.

Duduk permasalahan yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri terlebih dahulu adalah Apakah yang dimaksud dengan Beasiswa? Siapakah yang seharusnya berhak menerima Beasiswa?  Apa dasar filosofis dari adanya Beasiswa? Apa dasar yuridis dari adanya Beasiswa? Apa dasar sosiologis dari adanya beasiswa? Sehingga kita bisa sampai pada kesimpulan, Apakah esensi sebenarnya dari adanya Beasiswa? pertanyaan inilah yang hendak saya jawab pada artikel ini.

Isi :
Sekarang kita pahami dulu pengertian Beasiswa itu sendiri. Beasiswa menurut etimologi (Pembentukan Kata) dari KBBI online berasal dari kata Bea yang artinya Biaya dan Siswa yang artinya Murid, sedangkan menurut terminologi (Definisi Istilah) dari KBBI online adalah Tunjangan yang diberikan kepada pelajar atau mahasiswa sebagai bantuan biaya belajar. Sekarang kita dapat melihat pengertian dari Beasiswa, namun sepertinya kita masih belum dapat memutuskan secara pasti siapa yang berhak menerima beasiswa maka sekarang kita akan coba melihat dari landasan folosofis, yuridis, dan sosiologis.

Pancasila sebagai dasar filosofi (Philosophie op Grundslag) negara kita akan memberikan arah dan tujuan dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sila ke-5 (lima) Pancasila menyatakan, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" terlihat bahwa Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun pertanyaan selajutnya adalah Apakah hubungan Nilai Keadilan Sosial ini dengan Beasiswa? Jelas berhubungan erat, karena salah satu tujuan negara kita yang terdapat pada Pembukaan alinea ke-4 (empat) UUD 1945  menyatakan dengan tegas pentingnya "mencerdaskan kehidupan bangsa" sehingga beasiswa sebagai salah satu bentuk pendanaan dalam pendidikan juga tidak terlepas dari nilai keadilan dimana harus adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menerima Beasiswa. Namun pada kenyataanya yang terjadi pada pelbagai kebijakan yang dibuat telah membuat klasifikasi Beasiswa 'hanya" diberikan bagi golongan yang tidak mampu. 

Sebagai bentuk penjabaran lebih lanjut dari dasar filosofi kita maka sekarang kita akan melihat dari landasan yuridis yang akan memberikan klasifikasi warga negara yang berhak menerima beasiswa. Mengenai pengaturan mengenai  beasiswa ini maka kita akan mengacu pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi payung hukum dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pada pasal 12 ayat (1) huruf c menyatakan "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dari pasal ini jelas indikator warga negara yang berhak menerima beasiswa adalah siswa yang berprestasi dan kurang mampu secara ekonomi. Namun dengan keluarnya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/ PUU-VII/2009 yang merupakan keputusan terhadap judicial review UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada 3 pasal yang dikabulkan oleh Mahkamah Kontritusi untuk di judicial review yaitu Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c, dan Penjelasan Pasal 53 ayat (1). Pasal 12 ayat (1) yang menjadi dasar hukum Beasiswa ternyata telah di judicial review oleh Mahkamah Kontitusi karena telah bertentangan dengan UUD 1945. Saya Copykan langsung amar putusan Mahakamah Konstitusi terhadap pasal ini :
Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi, “Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”;
hal ini menyebabkan sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan dari keputusan Mahkamah Kontitusi di atas, klasifikasi siswa yang menerima Beasiswa ternyata bukan hanya untuk orang tuanya tidak mampu karena akan menimbulkan diskriminasi terhadap pembedaan kelas sosial sehingga akan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD RI 1945, tetapi lebih menitikberatkan kepada sebuah penghargaan (reward) bagi siswa yang berprestasi . Alasan lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk mejudicial review pasal ini adalah idealnya kebutuhan biaya pendidikan telah dijamin oleh Pemerintah dengan adanya jaminan tersebut maka tidak perlu lagi penyebutan orang mampu dan tidak mampu, oleh karena seluruh biaya pendidikan telah ditanggung Pemerintah. Selain itu bantuan biaya yang khusus diberikan kepada orang yang tidak mampu sebenarnya telah di penuhi oleh Pasal 12 ayat (1) huruf d yaitu "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dari sini dapat terlihat adanya dua pasal yang memberikan hak yang sama terhadap objek yang sama. Maka sudah jelaslah secara yuridis dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/ PUU-VII/2009 ini, warga negara khususnya Peserta didik yang berhak mendapat Beasiswa adalah siswa yang berperestasi, bukan hanya terbatas pada siswa yang kurang mampu secara ekonomi karena kebutuhan biaya pendidikan mereka telah diatur oleh Pasal 12 ayat (1) huruf d tentang Biaya Pendidikan bagi orang yang tidak mampu membiayai biaya pendidikanya.

Pemaknaan "Beasiswa" yang sejati menurut hukum positif kita inilah berbenturan pada realita yang terjadi di masyarakat karena menjadi tidak jelas atau multi tafsir, masyarakat sering menganggap bahwa beasiswa hanya diperuntukan bagi mahasiswa golongan tidak mampu, padahal pemaknaan yang tepat diperuntukan bagi mahasiswa yang berprestasi, hal ini diperparah dengan para pembuat kebijakan di tataran pemerintah maupun di penyelenggara pendidikan juga mencampur adukan pemaknaan Beasiswa dan Biaya Pendidikan, hal ini berdampak pada sebagian Mahasiswa yang notabenenya "mampu" tidak berkesempatan mendapatkan beasiswa.

Padahal dalam realitannya, Mahasiswa dari golongan mampu yang notabenenya di labelkan kepada Mahasiswa dari Program Reguler Mandiri / Paralel memiliki pertimbangan untuk mendapatkan beasiswa, antara lain :
Pertama, Tidak semua Mahasiswa dari Program Reguler Mandiri / Paralel termasuk orang mampu.
Opini yang berkembang di masyarakat terhadap Program Reguler Mandiri / Paralel mengklasifikasikan mereka berada di golongan yang berkecukupan berdasarkan besarnya biaya yang dibebankan kepada mereka baik itu Biaya Masuk maupun SPP semester dan juga mungkin masyrakat yang melihat gaya hidup anak Reguler Mandiri / Paralel yang berlebihan. Mungkin benar saya berani katakan hampir 70% Mahasiswa Reguler Mandiri / Paralel berkecukupan, tapi pada kenyataanya banyak kawan-kawan saya yang dari Program Reguler Mandiri / Paralel berada di kondisi ekonomi yang sulit, orang tua mereka harus menjual sawah, tanah,dll hanya demi menyekolahkan anaknya pada tingkat Pendidikan Tinggi walaupun besar biaya yang harus dikeluarkan.
Kedua, Tidak selamanya Mahasiswa dari Program Reguler Mandiri / Paralel termasuk orang mampu.
Kita mengetahui kehidupan ini terus berputar, "Mungkin hari ini anda menjadi Raja besok anda menjadi Pengemis, begitu juga sebaliknya mungkin hari ini anda menjadi Pengemis besok anda menjadi Raja." belum tentu selamanya Mahasiswa dari Program Reguler Mandiri / Paralel termasuk golongan orang mampu, bagaimana jika terjadi hal buruk dengan orang tua mereka sehingga mereka menjadi golongan tidak mampu? bukankah menjadi hal yang ironis pembatasan Beasiswa berdasarkan klasifikasi kemampuan ekonomi  menjadi tembok pengahalang terhadap Mahasiswa yang benar-benar memerlukan Biaya Pendidikan.
Ketiga, Tidak Semua Mahasiswa  Mahasiswa dari Program Reguler Mandiri / Paralel tidak mampu berprestasi.
Ketika kita menyepakati orientasi atau indikator dari mahasiswa yang mendapatkan beasiswa adalah Prestasi maka kita tidak boleh membatasi pemberian beasiswa berdasarkan kemampuan finansial, karena pada kenyataaanya ada juga beberapa Mahasiswa Program Reguler Mandiri / Paralel dapat bersaing dan menunjukan prestasi yang luar biasa setara dengan mahasiswa reguler.
Ketiga, Semangat berkompetisi untuk menjadi yang berprestasi.
Indikator "Berprestasi" untuk mendapatkan sebuah beasiswa seharusnya dapat menjadi sebuah energi yang luar biasa bagi Mahasiswa untuk meningkatkan kualitas dirinya. Dengan adanya pengklasifikasian Beasiswa hanya bagi golongan tidak mampu maka saya pertanyakan kembalik kepada kawan-kawan, Apa bentuk penghargaan yang diberikan kepada Mahasiswa Program Reguler Mandiri / Paralel jika mereka berprestasi? Bukankan dengan pengkalsifikasian ini akan mematikan semangat berkompetisi bagi Mahasiswa Program Reguler Mandiri / Paralel karena tidak ada bentuk penghargaan yang mereka dapatkan setelah mereka berprestasi maka jangan salahkan tidak ada semangat bagi mereka untuk terus menigktakan kualitas diri mereka.

Epilog :
Dari landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis diatas sudah dapat kita tarik esensi sebenarnya dari adanya Beasiswa adalah Sebuah penghargaan bagi siswa yang berprestasi, tanpa seharusnya memandang tingkatan ekonomi, karena jelasindikator utamanya adalah sebuah "Prestasi" hal ini bertujuan agar dapat menjadi stimulus bagi Mahasiswa-mahasiswa untuk terus menigkatkan kualitas dirinya. Jika memang maksud dari sebuah biaya pendidikan diperuntukan bagi orang yang tidak mampu maka jangan memakai istilah "Beasiswa" yang jelas-jelas indikator utamanya untuk orang yang berprestasi, namun jika memang dana tersebut adalah dana Beasiswa, mari bersaing dengan sehat untuk mendapatkan Beasiswa tersebut dengan cara berkompetisi untuk menjadi mahasiswa yang berprestasi.

Saran saya langsung kepada sebuah kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun Penyelenggara Pendidikan di tataran Universitas dan lainya, hapus indikator yang mendapatkan "Beasiswa" adalah pendapatan orang tua atau apapun yang berhubungan dengan indikator finansial karena ini adalah bentuk dari indikator bantuan Pendidikan untuk Mahasiswa yang kurang mampu. Bukankah lebih bijaksana jika indikator yang mendapatkan beasiswa adalah sebuah rangking, misalkan 50 rangking teratas angkatan mendapat Beasiswa atau silahkan Perguruan Tinggi membuat sebuah kompetisi yang hadiahnya sebuah Beasiswa. Menurut saya indikator ini jelas menunjukan intelejensi seorang Mahasiswa dan lebih dapat dieprtanggungjwabkan.

Saya yakin dengan indikator seperti diatas, menciptakan putra-putri harapan bangsa yang memiliki intelektual tinggi dan sportivitas tinggi bukanlah mimpi belaka dengan cara berkompetisi  ;) :D

Sebagai punutup izinkan saya mengutip sebuah hadis Rasululllah Muhammad SAW yang juga menjadi pendorong kenapa saya ingin membuat artikel ini,
"Kalian harus menyampaikan kebenaran yang kalian ketahui dan kalian hendaklah memohon kepada Allah agar mendapatkan hak kalian" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Source : RUU Pendidikan Tinggi versi FH USU dan UU No.20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional.
Wallauhu a'alam bis-shawab ~ Re-Win

0 comments:

Posting Komentar

 
Rewin Our Law © 2011 | All Rights Reserved.